Sukhoi SSJ-100 |
Pesawat Sukhoi Superjet-100 (SSJ-100) buatan Rusia yang menghilang sejak Rabu kemarin, akhirnya dapat ditemukan pada Kamis pagi (10/5/2012). Pesawat berpenumpang 45 orang, 8 di antaranya Crew pesawat, itu menabrak tebing di seputar puncak Gunung Salak, Bogor.
Lokasi jatuhnya pesawat berada pada koordinat 0642613 South dan 10644412 East. Dengan ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut, Atau sekitar 7.253 kaki. Daerah itu termasuk wilayah Kecamatan Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Dari kejauhan, tebing yang ditabrak tampak berbeda dengan sekelilingnya. Sebidang tanah tampak lapang, pepohonannya rusak. Sementara, sekitarnya masih rimbun, terlihat masih hijau. Pada bidang yang ditabrak itu membentuk sebuah cerukan.
Tim SAR segera mengerahkan personil mereka ke titik itu. Helipad bekas eksplorasi geotermal Chevron dipersiapkan untuk evakuasi melalui jalur udara. Tim evakuasi melalui jalur darat diberangkatkan, sesaat setelah temuan itu diumumkan.
Tanda-tanda keberadaan pesawat na’as itu pertama kali terlihat oleh Tim SAR yang memantau lewat udara. Mereka menggunakan helikopter Super Puma FA 3214 milik TNI Angkatan Udara. Sekitar pukul 08.30 WIB, tim itu melihat serpihan pesawat yang berceceran.
Menurut laporan petugas SAR saat kejadian, Kondisi pesawat tampak hancur. Onggokan serpihan Pesawat buatan Rusia itu terlihat di ketinggian 5.800 kaki.
"Ada serpihan pesawat dan ada logo Sukhoi. Warnanya sama dengan yang berangkat kemarin," Ungkap Kepala Badan SAR Nasional (BASARNAS), Daryatmo di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. "Tempat ini persis di koordinat yang kami duga saat Kehilangan contact."
Pesawat na'as tersebut dipiloti penerbang senior Aleksandr Yablontsev dan kopilot Aleksandr Kochetkov asal rusia. Mereka sudah menerbangkan Sukhoi yang na'as itu dari Rusia, Kazakhstan, Pakistan, Myanmar. Namun, keduanya baru pertama kali menerbangkan pesawat di wilayah Indonesia.
Meski begitu, lanjut Sunaryo, sebelum melakukan penerbangan, pilot Aleksandr Yablontsev dan kopilot Aleksandr Kochetkov telah melakukan persiapan dan briefing flight. "Tapi tidak mungkin menerbangkan pesawat jika tidak melakukan prepare," kata Sunaryo dari PT. Trimarga Rekatama --Konsultan Bisnis Sukhoi di Indonesia.
Sebelum kehilangan kontak, sang pilot meminta izin untuk turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki kepada menara kontrol Bandara Soekarno-Hatta. Sunaryo mempertanyakan mengapa permintaan itu dikabulkan pada koordinat itu. "Pilot minta izin turun, tetapi diizinkan," kata Sunaryo.
Namun, dia tidak ingin menduga-duga. Sebab, Trimarga Rekatama sudah menyerahkan sepenuhnya proses investigasi kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). "Kenapa terjadi, itu biar dari KNKT. Itu kewenangan dari KNKT," tukasnya.
Pihak Basarnas membantah pilot itu telah mendapat izin menurunkan ketinggian. Menurut Humas Badan SAR Nasional, Gagah Prakoso, menara Soekarno-Hatta belum memberikan izin untuk itu. "Dia hanya melapor ke ATC ke 6.000. Belum dijawab oleh tower dia menabrak, sebelum dia jawab sudah menghilang," Jelasnya.
Gagah menambahkan kecepatan pesawat kala itu 800 km/ jam. "Itu pesawat kecil," ungkap nya. Mengapa pilot meminta turun? "Itu biasanya inisiatif dari penerbang, mungkin saja karena cuaca atau kabut tebal," tambah dia.
Kontak terakhir dengan Menara Bandara Soekarno-Hatta, tambah Gagah, pesawat sedang menghindari awan. "Saya pikir karena faktor cuaca, dia akhirnya menghindar," imbuhnya. "Mereka tidak mengenal medan udara dengan baik."
Sementara, Koordinator Rescue PT Dirgantara Indonesia Bambang Munardi memperkirakan bahwa pesawat Sukhoi Superjet-100 jatuh karena masuk ruang hampa udara. Itu diduga jadi alasan pilot minta izin turun.
Bambang menjelaskan, pesawat kemungkinan masuk ruang hampa udara di ketinggian antara 10.000 kaki sampai 6000 kaki. "Turun drastis dalam waktu relatif singkat. Akan Sangat sulit untuk pesawat bertahan dalam kondisi itu," jelasnya.
Dalam kondisi seperti itu, imbuhnya, pilot pesawat harus memiliki keahlian khusus untuk menstabilkan pesawat. Selain itu, pesawat juga harus punya teknologi untuk mengatasi masalah ini. "Kami belum tahu catatan pilot dan kemampuan teknologi pesawat Sukhoi ini".
Kondisi cuaca buruk akibat badai di wilayah Laut China juga berdampak langsung ke kawasan Gunung Salak yang berkontur pegunungan. "Akibatnya sering terjadi turbulensi udara dan tersedianya ruang hampa udara. Ini sangat membahayakan penerbangan," katanya.
Sementara itu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akan memfokuskan penyelidikan jatuhnya Sukhoi Superjet 100 RA-36801 pada ada-tidaknya izin untuk menurunkan ketinggian pesawat dari 10 ribu kaki ke 6.000 kaki.
"Seharusnya, kalau sudah menurunkan ketinggian pesawat, sudah dapat izin dari Air Traffic Center (ATC)," kata Kepala KNKT Tatang Kurniadi, Kamis (10/5/2012). Menurut dia, percakapan itu tidak hanya ditangkap ATC Soekarno-Hatta, tapi juga ATC Halim Perdanakusuma.
Menurut Ketua Asosiasi Pilot Garuda Stephanus Gerardus, banyak misteri yang harus dibongkar soal izin menurunkan ketinggian. Ia menduga, sedikitnya ada tiga kemungkinan penyebab jatuhnya Sukhoi Superjet 100. "Selain faktor ATC, kemungkinan pilot sengaja melakukan demonstrasi manuver. Ini kan penerbangan promosi," ujarnya.
Faktor lain yang bisa menjadi penyebab kecelakaan adalah cuaca di Gunung Salak. Namun, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, cuaca di Bogor dan Gunung Salak pada Rabu (9/5/2012), aman untuk Melakukan penerbangan.
Terganggu Sinyal HP?
Seorang penulis di Kompasiana.com, Seand Munir, membuat analisa sendiri. Kabarnya, sejumlah penumpang pesawat na'as Sukhoi itu ternyata mengaktifkan telepon seluler (ponsel) saat pesawat sedang terbang. Terbukti, kata beberapa saksi, sejumlah panggilan ke ponsel mereka ternyata tersambung namun tidak diangkat. "Padahal ini sangat tak diperbolehkan dan bisa membahayakan penerbangan," tulis Seand.
Nah, benarkah sinyal ponsel yang masih menyala ini juga mempengaruhi penerbangan itu? Ada beberapa contoh kejadian kecelakaan pesawat akibat sinyal ponsel. Sebut saja, pesawat Crossair dengan nomor penerbangan LX498 baru saja take-off dari bandara Zurich , Swiss. Tak lama kemudian, pesawat menukik jatuh. Sepuluh penumpangnya tewas. Penyelidik menemukan bukti adanya gangguan sinyal ponsel terhadap sistem kemudi pesawat.
Selain itu, pesawat Slovenia Air dalam penerbangan menuju Sarajevo pernah melakukan pendaratan darurat karena sistem alarm di kokpit penerbang terus meraung-raung. Ternyata, sebuah ponsel di dalam kopor di bagasi penumpang lupa dimatikan, dan menyebabkan gangguan terhadap sistem navigasi Pesawat.
Ada pula Boeing 747 Qantas yang tiba-tiba miring ke satu sisi dan mendaki lagi setinggi 700 kaki, justru ketika sedang final approach untuk landing di bandara Heathrow, London. Penyebabnya, seperti ditulis The Australian (23/9/1998), tiga penumpang belum mematikan komputer, CD player, dan electronic game masing-masing.
Data ASRS, tulis Seand, menyebut bahwa sinyal ponsel kerap mengganggu pesawat sejak take off hingga landing. Bebrapa mulai gangguan sinyal HP di pesawat antara lain: arah terbang melenceng, Indikator HSI (Horizontal Situation Indicator) terganggu , gangguan penyebab VOR (VHF Omnidirectional Receiver) tak terdengar, gangguan sistem navigasi, gangguan frekuensi komunikasi, gangguan indikator bahan bakar, dan gangguan sistem kemudi otomatis.
Sedangkan gangguan lainnya seperti Gangguan arah kompas diakibatkan oleh CD & game (Portable Electronic). Gangguan indikator CDI (Course Deviation Indicator) diakibatkan oleh gameboy. Kebisingan pada headset para penerbang dan terputus-putusnya suara mengakibatkan penerbang tak dapat menerima instruksi dari menara pengawas dengan baik.
Untuk diketahui, ponsel tidak hanya mengirim dan menerima gelombang radio melainkan juga meradiasikan tenaga listrik untuk menjangkau BTS (Base Transceiver Station). Sebuah ponsel dapat menjangkau BTS yang berjarak 35 kilometer. Artinya, pada ketinggian 30.000 kaki, sebuah ponsel bisa menjangkau ratusan BTS yang berada di bawahnya.
Kesimpulan nya, jangan pernah menyalakan ponsel ketika berada di pesawat! (HP)
Lokasi jatuhnya pesawat berada pada koordinat 0642613 South dan 10644412 East. Dengan ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut, Atau sekitar 7.253 kaki. Daerah itu termasuk wilayah Kecamatan Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Dari kejauhan, tebing yang ditabrak tampak berbeda dengan sekelilingnya. Sebidang tanah tampak lapang, pepohonannya rusak. Sementara, sekitarnya masih rimbun, terlihat masih hijau. Pada bidang yang ditabrak itu membentuk sebuah cerukan.
Tim SAR segera mengerahkan personil mereka ke titik itu. Helipad bekas eksplorasi geotermal Chevron dipersiapkan untuk evakuasi melalui jalur udara. Tim evakuasi melalui jalur darat diberangkatkan, sesaat setelah temuan itu diumumkan.
Tanda-tanda keberadaan pesawat na’as itu pertama kali terlihat oleh Tim SAR yang memantau lewat udara. Mereka menggunakan helikopter Super Puma FA 3214 milik TNI Angkatan Udara. Sekitar pukul 08.30 WIB, tim itu melihat serpihan pesawat yang berceceran.
Menurut laporan petugas SAR saat kejadian, Kondisi pesawat tampak hancur. Onggokan serpihan Pesawat buatan Rusia itu terlihat di ketinggian 5.800 kaki.
"Ada serpihan pesawat dan ada logo Sukhoi. Warnanya sama dengan yang berangkat kemarin," Ungkap Kepala Badan SAR Nasional (BASARNAS), Daryatmo di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. "Tempat ini persis di koordinat yang kami duga saat Kehilangan contact."
Pesawat na'as tersebut dipiloti penerbang senior Aleksandr Yablontsev dan kopilot Aleksandr Kochetkov asal rusia. Mereka sudah menerbangkan Sukhoi yang na'as itu dari Rusia, Kazakhstan, Pakistan, Myanmar. Namun, keduanya baru pertama kali menerbangkan pesawat di wilayah Indonesia.
Meski begitu, lanjut Sunaryo, sebelum melakukan penerbangan, pilot Aleksandr Yablontsev dan kopilot Aleksandr Kochetkov telah melakukan persiapan dan briefing flight. "Tapi tidak mungkin menerbangkan pesawat jika tidak melakukan prepare," kata Sunaryo dari PT. Trimarga Rekatama --Konsultan Bisnis Sukhoi di Indonesia.
Sebelum kehilangan kontak, sang pilot meminta izin untuk turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki kepada menara kontrol Bandara Soekarno-Hatta. Sunaryo mempertanyakan mengapa permintaan itu dikabulkan pada koordinat itu. "Pilot minta izin turun, tetapi diizinkan," kata Sunaryo.
Namun, dia tidak ingin menduga-duga. Sebab, Trimarga Rekatama sudah menyerahkan sepenuhnya proses investigasi kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). "Kenapa terjadi, itu biar dari KNKT. Itu kewenangan dari KNKT," tukasnya.
Pihak Basarnas membantah pilot itu telah mendapat izin menurunkan ketinggian. Menurut Humas Badan SAR Nasional, Gagah Prakoso, menara Soekarno-Hatta belum memberikan izin untuk itu. "Dia hanya melapor ke ATC ke 6.000. Belum dijawab oleh tower dia menabrak, sebelum dia jawab sudah menghilang," Jelasnya.
Gagah menambahkan kecepatan pesawat kala itu 800 km/ jam. "Itu pesawat kecil," ungkap nya. Mengapa pilot meminta turun? "Itu biasanya inisiatif dari penerbang, mungkin saja karena cuaca atau kabut tebal," tambah dia.
Kontak terakhir dengan Menara Bandara Soekarno-Hatta, tambah Gagah, pesawat sedang menghindari awan. "Saya pikir karena faktor cuaca, dia akhirnya menghindar," imbuhnya. "Mereka tidak mengenal medan udara dengan baik."
Sementara, Koordinator Rescue PT Dirgantara Indonesia Bambang Munardi memperkirakan bahwa pesawat Sukhoi Superjet-100 jatuh karena masuk ruang hampa udara. Itu diduga jadi alasan pilot minta izin turun.
Bambang menjelaskan, pesawat kemungkinan masuk ruang hampa udara di ketinggian antara 10.000 kaki sampai 6000 kaki. "Turun drastis dalam waktu relatif singkat. Akan Sangat sulit untuk pesawat bertahan dalam kondisi itu," jelasnya.
Dalam kondisi seperti itu, imbuhnya, pilot pesawat harus memiliki keahlian khusus untuk menstabilkan pesawat. Selain itu, pesawat juga harus punya teknologi untuk mengatasi masalah ini. "Kami belum tahu catatan pilot dan kemampuan teknologi pesawat Sukhoi ini".
Kondisi cuaca buruk akibat badai di wilayah Laut China juga berdampak langsung ke kawasan Gunung Salak yang berkontur pegunungan. "Akibatnya sering terjadi turbulensi udara dan tersedianya ruang hampa udara. Ini sangat membahayakan penerbangan," katanya.
Sementara itu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akan memfokuskan penyelidikan jatuhnya Sukhoi Superjet 100 RA-36801 pada ada-tidaknya izin untuk menurunkan ketinggian pesawat dari 10 ribu kaki ke 6.000 kaki.
"Seharusnya, kalau sudah menurunkan ketinggian pesawat, sudah dapat izin dari Air Traffic Center (ATC)," kata Kepala KNKT Tatang Kurniadi, Kamis (10/5/2012). Menurut dia, percakapan itu tidak hanya ditangkap ATC Soekarno-Hatta, tapi juga ATC Halim Perdanakusuma.
Menurut Ketua Asosiasi Pilot Garuda Stephanus Gerardus, banyak misteri yang harus dibongkar soal izin menurunkan ketinggian. Ia menduga, sedikitnya ada tiga kemungkinan penyebab jatuhnya Sukhoi Superjet 100. "Selain faktor ATC, kemungkinan pilot sengaja melakukan demonstrasi manuver. Ini kan penerbangan promosi," ujarnya.
Faktor lain yang bisa menjadi penyebab kecelakaan adalah cuaca di Gunung Salak. Namun, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, cuaca di Bogor dan Gunung Salak pada Rabu (9/5/2012), aman untuk Melakukan penerbangan.
Terganggu Sinyal HP?
Seorang penulis di Kompasiana.com, Seand Munir, membuat analisa sendiri. Kabarnya, sejumlah penumpang pesawat na'as Sukhoi itu ternyata mengaktifkan telepon seluler (ponsel) saat pesawat sedang terbang. Terbukti, kata beberapa saksi, sejumlah panggilan ke ponsel mereka ternyata tersambung namun tidak diangkat. "Padahal ini sangat tak diperbolehkan dan bisa membahayakan penerbangan," tulis Seand.
Nah, benarkah sinyal ponsel yang masih menyala ini juga mempengaruhi penerbangan itu? Ada beberapa contoh kejadian kecelakaan pesawat akibat sinyal ponsel. Sebut saja, pesawat Crossair dengan nomor penerbangan LX498 baru saja take-off dari bandara Zurich , Swiss. Tak lama kemudian, pesawat menukik jatuh. Sepuluh penumpangnya tewas. Penyelidik menemukan bukti adanya gangguan sinyal ponsel terhadap sistem kemudi pesawat.
Selain itu, pesawat Slovenia Air dalam penerbangan menuju Sarajevo pernah melakukan pendaratan darurat karena sistem alarm di kokpit penerbang terus meraung-raung. Ternyata, sebuah ponsel di dalam kopor di bagasi penumpang lupa dimatikan, dan menyebabkan gangguan terhadap sistem navigasi Pesawat.
Ada pula Boeing 747 Qantas yang tiba-tiba miring ke satu sisi dan mendaki lagi setinggi 700 kaki, justru ketika sedang final approach untuk landing di bandara Heathrow, London. Penyebabnya, seperti ditulis The Australian (23/9/1998), tiga penumpang belum mematikan komputer, CD player, dan electronic game masing-masing.
Data ASRS, tulis Seand, menyebut bahwa sinyal ponsel kerap mengganggu pesawat sejak take off hingga landing. Bebrapa mulai gangguan sinyal HP di pesawat antara lain: arah terbang melenceng, Indikator HSI (Horizontal Situation Indicator) terganggu , gangguan penyebab VOR (VHF Omnidirectional Receiver) tak terdengar, gangguan sistem navigasi, gangguan frekuensi komunikasi, gangguan indikator bahan bakar, dan gangguan sistem kemudi otomatis.
Sedangkan gangguan lainnya seperti Gangguan arah kompas diakibatkan oleh CD & game (Portable Electronic). Gangguan indikator CDI (Course Deviation Indicator) diakibatkan oleh gameboy. Kebisingan pada headset para penerbang dan terputus-putusnya suara mengakibatkan penerbang tak dapat menerima instruksi dari menara pengawas dengan baik.
Untuk diketahui, ponsel tidak hanya mengirim dan menerima gelombang radio melainkan juga meradiasikan tenaga listrik untuk menjangkau BTS (Base Transceiver Station). Sebuah ponsel dapat menjangkau BTS yang berjarak 35 kilometer. Artinya, pada ketinggian 30.000 kaki, sebuah ponsel bisa menjangkau ratusan BTS yang berada di bawahnya.
Kesimpulan nya, jangan pernah menyalakan ponsel ketika berada di pesawat! (HP)